Faktor Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Daging

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUALITAS DAGING DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MERUSAK KUALITAS DAGING

MAKALAH 


WULAN MARLIYANI











JURUSAN PENYULUHAN PETERNAKAN DAN KESEJAHTERAAN HEWAN
POLITEKNIK PEMBANGUNAN PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018



KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya kami masih diberi kesehatan sehingga dapat menyelesaikan salah satu tugas makalah mata kuliah Teknik Penanganan Hasil Peternakan yang berjudul “Kualitas Daging”.
Makalah ini penulis buat sebagai salah satu tugas dalam kegiatan perkuliahan yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Bogor.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan, oleh karena itu kami meminta maaf seandainya pembaca melihat kesalahan tersebut. Karena kemampuan yang kami miliki memang masih sangat terbatas, namun semua ini telah kami lakukan semaksimal mungkin. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran serta kami berharap semoga makalah ini dapat berguna bagi semua pihak.
                       
                                                                                                                       



                                                                                      Bogor, Mei 2018

Penulis



 
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Daging merupakan produk utama pemeliharaan ternak potong. Ketersediaan pakan baik kuantitas maupun kualitas merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas daging, sedangkan faktor penting lainnya adalah bibit dan manajemen pemeliharaan. Pakan ternak potong sangat beragam dapat berupa hijauan segar, biji-­bijian, maupun limbah pertanian/limbah industri pertanian dapat mempengaruhi kualitas daging. Menurut Kandeepan et al. (2009) kualitas pakan dapat mempengaruhi kualitas daging, yaitu dapat mempengaruhi dressing yield, perbandingan daging tulang, perbandingan protein lemak, komposisi asam lemak, nilai kalori, warna, fisiko-kimia, masa simpan dan sifat sensori.
Metode pemberian pakan pada penggemukan ternak ruminansia juga dapat berpengaruh terhadap kualitas daging. Metode penggemukan meliputi: (1) dry lot fattening (penggemukan dalam kandang dengan pemberian biji-­bijian dan limbah industri pertanian), (2) pasture fattening (penggemukan dalam padang penggembalaan) dan (3) kombinasi dry lot fattening dan pasture fattening (Litbang Deptan, 2010).
Demikian juga pemeliharaan ternak babi dengan metode dikandangkan (indoor) dan metode pasture (outdoor) juga berpengaruh terhadap sifat fisik dan sensori daging babi (Lebret, 2008). Berdasarkan kenyataan tersebut di atas bahwa untuk mendapatkan daging yang berkualitas baik, maka aspek pakan baik kuantitas, kualitas, maupun metode pemberian pakan merupakan hal yang harus diperhatikan dalam pemeliharaan ternak potong.
Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah pascapanen, yaitu sejak penyembelihan, pelayuan, distribusi, pemasaran, pengolahan, sampai penyajian, serta penanganan yang higienis. Hal ini dimaksudkan agar kerusakan daging segar maupun olahan dapat dicegah atau diperlambat.
Kebutuhan daging sapi untuk konsumsi penduduk terutama di Indonesia dirasa semakin meningkat setiap tahun sesuai dengan kenaikan jumlah penduduk sehubungan dengan kebutuhan protein hewani ini, LIPI tahun 1983 yang dikutip oleh sugeng (2000), mengemukakan bahwa masyarakat Indonesia rata - rata memerlukan 50 gram protein, 20 % diantaranya berasal dari ternak dan ikan yakni protein dari ternak 4 gram/hari dan ikan 6 gram/hari sedangkan 80 % atau 40gram lainnya berupa protein nabati.  Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa, kebutuhan akan protein hewani khususnya daging sapi sangatlah penting dalam meningkatkan nilai gizi masyarakat.
2.      Tujuan          
            Agar masyarakat mengetahui cara untuk menjaga kualitas daging yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor antemortem maupun faktor postmortem sehingga daging aman, sehat, utuh, dan halal.
















TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Daging

Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak serta zat yang lain yang sangat dibutuhkan oleh tubuh.  Usaha untuk meningkatkan konsumsi protein hewani sangatlah penting, karena protein hewani mudah dicerna dan nilai gizinya lebih baik dibandingkan dengan protein nabati. Daging sapi dianggap pilihan yang paling populer dari semua daging merah. Daging sapi memiliki banyak kelebihan. 
Daging sapi merupakan sumber vitamin B12 dan sumber vitamin B6.  Vitamin B12 hanya ditemukan dalam produk hewani dan sangat penting untuk metabolisme sel, menjaga sistem saraf yang sehat, dan produksi sel darah merah dalam tubuh. Selain itu, daging sapi merupakan sumber zat besi yang baik serta mengandung selenium dan fosfor. Asam amino yang terdapat pada daging sapi adalah leusin, lisin, dan valin yang lebih tinggi daripada daging babi atau domba.
Ciriciri spesifik daging sapi yang sehat menurut Usmiati (2010) adalah berwarna merah terang/cerah, mengkilap, tidak pucat, elastis, tidak lengket dan beraroma “khas”. Sifat spesifik sensori yang dimiliki daging dapat menentukan daya terima bagi konsumen. Menurut Purbowati et al. (2006) beberapa kualitas spesifik yang mempengaruhi daya terima konsumen terhadap daging adalah warna, pH, daya ikat air, susut masak dan keempukan. Permintaan konsumen terhadap daging juga berubah, yaitu menghendaki daging berwarna cerah, rendah lemak, empuk, bebas residu pestisida dan diproses secara higienis (Kandeepan et al., 2009).
Daging mempunyai beberapa sifat fisik spesifik yang berpengaruh terhadap kualitas daging. Sifatsifat fisik yang dimiliki daging sapi adalah: nilai pH, daya ikat air, susut masak, keempukan, warna dan cita rasa (Jamhari, 1995).


ü  Nilai pH
Daging sapi mempunyai pH relatif asam, yaitu berkisar antara 5,5 – 5,8 (Abustam, 2009), sedangkan penelitian Yanti et al. (2008) nilai pH daging sapi berkisar antara 5,46 – 6,29. Kandungan asam laktat dalam daging sapi ditentukan oleh kandungan glikogen dan penanganan sebelum penyembelihan, apabila pH daging sapi mencapai 5,1 – 6,1 maka lebih stabil terhadap kerusakan oleh mikroba, sedangkan apabila pH daging sapi berada sekitar 6,2 – 7,2 maka memungkinkan untuk pertumbuhan mikroba menjadi lebih baik (Buckle et. al., 1986).
ü  Daya Ikat Air (DIA)
Daya ikat air (DIA) atau water holding capacity (WHC) atau water binding capacity (WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan (Soeparno, 1994).Faktor-­faktor yang mempengaruhi DIA adalah pH, pelayuan dan pemasakan daging (Abustam, 2009).
ü  Susut Masak
Susut masak (cooking loss) adalah berat yang hilang atau penyusutan berat sampel daging akibat pemasakan. Nilai susut masak daging sapi berdasarkan penelitian Brahmantiyo (2000) berkisar antara 37,53 – 38,34 %, sedangkan penelitian Yanti et al. (2008) nilai susut masak daging sapi berkisar antara 42,77 – 44,65 %.
ü  Keempukan (Shear Force)
Kesan keempukan secara keseluruhan meliputi tekstur dan melibatkan 3 aspek, yaitu kemudahan awal penetrasi gigi ke dalam daging, mudahnya daging dikunyah menjadi potongan-­potongan lebih kecil dan jumlah residu yang tertinggal setelah pengunyahan (Soeparno, 1994). Nilai keempukan daging sapi berkisar antara 1,58 – 2,79 kg/cm2, semakin kecil nilainya menunjukkan semakin empuk (Brahmantiyo, 2000). Pengujian keempukan daging sapi dapat juga secara subjektif dengan menggunakan panelis atau panel taste (Setyaningsih et al., 2010).
ü  Warna
Warna daging sapi ditentukan kandungan mioglobin (80 – 90 %) dan hemoglobin (Abustam, 2009). Standard warna daging sapi menggunakan skor 1 – 9, mulai dari warna merah muda sampai merah tua, yaitu warna merah terang (skor 1 – 5), warna merah kegelapan/agak gelap (skor 6 – 7) dan warna merah gelap (skor 8 – 9) (SNI 3932, 2008). Cita Rasa Cita rasa adalah salah satu atribut sensori adalah karakteristik kualitas suatu produk yang dapat diuji dengan indera manusia (Setyaningsih et al., 2010). Pembentukan cita rasa pada daging dapat dilakukan dengan pengolahan. Pengolahan daging menurut Bintoro (2008) diartikan sebagai upaya memberi perlakuan dengan tujuan mengubah bentuk, cita rasa, bau, warna ataupun sifat lain pada daging menjadi daging olahan tertentu.
Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas dan Kerusakan Daging
1.      Faktor Antemortem
Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan, termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik, dan mineral) dan stres. 
Perbedaan bangsa ternak akan berpengaruh terhadap produksi daging sapi. Bangsa dengan tipe besar akan lebih berdaging (lean) dan mempunyai banyak protein, proporsi tulang lebih tinggi dan lemak lebih rendah dari pada ternak tipe kecil (Williams, 1992). Proporsi komponen karkas dapat dipengaruhi oleh umur ternak. Pertumbuhan ternak paling cepat adalah pada waktu pedet sampai umur dua tahun, kemudian pada umur empat tahun mulai berkurang dan setelahnya pertumbuhan mulai konstan (Pane, 1993).
Hasil penelitian Zajulie (2015) pada sapi (BX) menunjukkan bahwa kelompok umur ternak yang lebih tua mempunyai bobot lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan ternak muda. Komponen lain yang dapat mempengaruhi proporsi karkas adalah jenis kelamin. Klasifikasi jenis kelamin (sex-class) berpengaruh nyata terhadap terhadap bobot karkas, luas urat daging mata rusuk, tebal lemak punggung rusuk ke-12 dan persentase lemak ginjal, pelvis dan jantung (Harapin, 2006). Sapi jantan akan mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat dari pada sapi betina karena adanya hormon androgen (Bureš dan Barton, 2012).
Komposisi kimia daging secara umum dapat diestimasi, antara lain kadar: air, protein, lemak, karbohidrat, substansi-substansi non-protein yang larut, termasuk substansi nitrogenous dan substansi anorganik berbeda antara bangsa, umur dan jenis kelamin, kadar air semakin tua ternak relatif menurun sebaliknya kadar lemaknya naik semakin bertambah umurnya. Air dalam daging segar sebagai komponen kimia terbesar mempengaruhi kualitas daging terutama jus daging (juiceness), keempukan (tenderness), warna dan citarasa (Soeparno, 2011).
·         Keadaan Stress 
-          DFD (Dark Firm Dry)
Daging Dark Firm Dry (DFD) yaitu daging yang berwarna gelap, bertekstur keras, kering, memiliki nilai pH tinggi dan daya mengikat air tinggi (Aberle et al., 2000). Daging ini dihasilkan akibat ternak kelelahan setelah mengalami transportasi yang jauh, sehingga terjadi perubahan dalam sifat fisik, kimia maupun sensori (Wulf et al., 2002).
-          PSE (Pale Soft Exudatife)
Daging PSE (Pale Soft Exudative) disebabkan Stress dalam waktu yang lama sebelum penyembelihan sehingga pH tetap tinggi setelah penyembelihan. Produksi asam laktat postmortem dari glikogen yang sangat cepat dan tidak terkendali, sehingga mengakibatkan pH daging yang sangat rendah sesaat setelah pemotongan, sementara temperatur otot masih tetap tinggi. Daya ikat air oleh proteinnya sangat rendah. Penurunan pH yang cepat, seperti pada saat pemecahan ATP yang cepat, akan mengakibatkan kontraksi aktomiosin dan menurunkan DIA protein (Bendall, 1960).


·         Pakan
Nuerenberg et al. (2005) melakukan penelitian dengan membandingkan sapi jantan jenis German Simmental (GS) dengan German Holstein (GH) umur 5 – 6 bulan. GS (16 ekor) dan GH (17 ekor) diberi pakan silase, hay, jerami, konsentrat, mineral, vitamin dan dipelihara sistem indoor sampai bobot badan mencapai 620 kg bobot hidup. Selanjutnya kelompok lain adalah 15 ekor GS dan 16 ekor GH dipelihara sistem pasture selama musim panas, selanjutkan selama musim dingin (3 bulan) dipelihara dalam kandang dengan pakan silase, hay, konsentrat, mineral dan vitamin, sampai bobot badan mencapai 620 kg bobot hidup. Setelah selesai pemeliharan semua sapi dipotong dan diamati kualitas dagingnya (bagian otot Longissimus). Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pemeliharaan sapi sistem indoor dengan pakan konsentrat dihasilkan pertambahan bobot badan harian (PBBH) dan lemak marbling lebih tinggi, warna daging lebih cerah dan shear force lebih empuk dari pada sistem pasture, sedangkan pH tidak dipengaruhi oleh sistem pemeliharaan. Menurut Kandeepan et al. (2009) ternak potong yang diberi pakan berupa hijauan pertumbuhannya lambat sampai saatnya dipotong, kandungan lemak karkas rendah, lemak berwarna kuning, daging tipis berwarna gelap dan bercita-­rasa spesifik akibat akibat kandungan beta-­karoten yang berasal dari hijauan pakan. Pemeliharaan ternak sistem pasture, biasanya pakan yang dikonsumsi ternak kekurangan lemak, sehingga menyebabkan komposisi asam lemak dalam lemak marbling menjadi lebih rendah apabila sistem pemeliharaan indoor + konsentrat. Pakan hijauan umumnya energinya lebih rendah bila dibandingkan dengan konsentrat. Hal ini menyebabkan deposit lemak rendah, sehingga mempengaruhi keempukan, kecerahan, dan penerimaan konsumen terhadap cita rasa (Nuerenberg et al., 2005). Pakan hijauan umumnya tinggi serat dan rendah energi, sehingga menyebabkan kandungan lemak karkas rendah, tetapi kandungan protein dan air dalam daging meningkat (Kandeepan et al., 2009). Ternak potong yang dipelihara sistem pasture menghasilkan daging dengan nilai pH ultimat bervariasi, karena proses glikolisis glukosa otot menjadi asam laktat menurun, sehingga daging menjadi lebih gelap (kurang cerah). Ternak domba yang dipelihara sistem pasture, dengan suplementasi Leucaena leucocephala dan konsentrat dihasilkan daging yang lebih gelap (Martin et al, 2004). Berdasarkan beberapa hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan, bahwa ternak ruminansia yang dipelihara secara indoor dengan pakan berupa konsentrat, dihasilkan daging dengan lemak marbling lebih tinggi, warna daging lebih cerah dan daging lebih empuk, apabila dibandingkan dengan pemeliharaan sistem pasture. Hal ini disebabkan pakan konsentrat lebih kaya energi daripada pakan hijauan yang berasal dari pasture.

2.      Faktor Postmortem
Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging adalah metode pelayuan, metode pemasakan, tingkat keasaman (pH) daging, bahan tambahan (termasuk enzim pengempuk daging), lemak intramuskular (marbling), metode penyimpanan dan pengawetan, macam otot daging, serta lokasi otot.
·         Metode Pelayuan
Pelayuan adalah penanganan daging segar setelah penyembelihan dengan cara menggantung atau menyimpan selama waktu tertentu pada temperatur di atas titik beku daging (-1,50C). Daging yang kita beli di pasar atau swalayan adalah daging yang telah mengalami proses pelayuan. Selama pelayuan, terjadi aktivitas enzim yang mampu menguraikan tenunan ikat daging. Daging menjadi lebih dapat mengikat air, bersifat lebih empuk, dan memiliki flavor yang lebih kuat.
Hewan yang baru dipotong dagingnya lentur dan lunak, kemudian terjadi perubahan-perubahan sehingga jaringan otot menjadi keras, kaku, dan tidak mudah digerakkan. Keadaan inilah yang disebut dengan rigor mortis.
Dalam kondisi rigor, daging menjadi lebih alot dan keras dibandingkan dengan sewaktu baru dipotong. Oleh karena itu, jika daging dalam keadaan rigor dimasak, akan alot dan tidak nikmat. Untuk menghindarkan daging dari rigor, daging perlu dibiarkan untuk menyelesaikan proses rigornya sendiri. Proses tersebut dinamakan proses aging (pelayuan). Daging biasanya dilayukan dalam bentuk karkas atau setengah karkas. Hal ini dilakukan untuk mengurangi luas permukaan yang dapat diinfeksi oleh mikroba. Tujuan dari pelayuan daging adalah: (1) agar proses pembentukan asam laktat dari glikogen otot berlangsung sempurna sehingga pertumbuhan bakteri akan terhambat, (2) pengeluaran darah menjadi lebih sempurna, (3) lapisan luar daging menjadi kering, sehingga kontaminasi mikroba pembusuk dari luar dapat ditahan, (4) untuk memperoleh daging yang memiliki tingkat keempukan optimum serta cita rasa khas.
·         Metode Pemasakan
Daging dengan jaringan ikat sedikit seperti has, dianjurkan dimasak dengan pemanasan kering (goreng, bakar, panggang, barbeque). Daging dengan jaringan ikat banyak seperti sengkel, dianjurkan dimasak secara lama dan lambat dengan suhu rendah dan menggunakan sedikit air. Suhu pemasakan memengaruhi keempukan daging. Jika daging tanpa lemak dipanaskan, protein kontraktil mengeras dan cairan hilang sehingga menurunkan keempukan daging. Potongan daging yang empuk bila dimasak pada suhu rendah akan menjadi lebih empuk dibanding pemasakan pada suhu sedang, dan dengan pemasakan suhu sedang, daging lebih empuk dibanding pemasakan dengan suhu tinggi. Oleh karena itu, suhu pemasakan perlu diperhatikan untuk menghasilkan daging yang empuk.
Susut masak adalah perhitungan berat yang hilang selama pemasakan atau pemanasan pada daging. Pada umumnya, makin lama waktu pemasakan makin besar kadar cairan daging hingga mencapai tingkat yang konstan. Susut masak merupakan indicator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar jus daging yaitu banyaknya air yang terikat dalam dan diantara serabut otot. Jus daging merupakan komponen dari daging yang ikut menetukan keempukan daging (Soeparno, 1992).

·         Tingkat Keasaman (pH) Daging
Nilai pH merupakan salah satu kriteria dalam penentuan kualitas daging, khususnya di Rumah Potong Hewan (RPH). Setelah pemotongan hewan (hewan telah mati), maka terjadilah proses biokimiawi yang sangat kompleks di dalam jaringan otot dan jaringan lainnya sebagai konsekuen tidak adanya aliran darah ke jaringan tersebut, karena terhentinya pompa jantung. Salah satu proses yang terjadi dan merupakan proses yang dominan dalam jaringan otot setelah kematian (36 jam pertama setelah kematian atau postmortem) adalah proses glikolisis anaerob atau glikolisis postmortem. Dalam glikolisis anaerob ini, selain dihasilkan energi (ATP) maka dihasilkan juga asam laktat. Asam laktat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan dan mengakibatkan penurunan nilai pH jaringan otot.
Nilai pH otot (otot bergaris melintang atau otot skeletal atau yang disebut daging) saat hewan hidup sekitar 7,0-7,2 (pH netral). Setelah hewan disembelih (mati), nilai pH dalam otot (pH daging) akan menurun akibat adanya akumulasi asam laktat. Penurunan nilai pH pada otot hewan yang sehat dan ditangani dengan baik sebelum pemotongan akan berjalan secara bertahap, yaitu dari nilai pH sekitar 7,0-7,2 akan mencapai nilai pH menurun secara bertahap dari 7,0 sampai 5,6 – 5,7 dalam waktu 6-8 jam postmortem dan akan mencapai nilai pH akhir sekitar 5,5-5,6. Nilai pH akhir (ultimate pH value) adalah nilai pH terendah yang dicapai pada otot setelah pemotongan (kematian). Nilai pH daging tidak akan pernah mencapai nilai di bawah 5,3. Hal ini disebabkan karena pada nilai pH di bawah 5,3 enzim-enzim yang terlibat dalam glikolisis anaerob tidak aktif berkerja. (Lukman, 2010)
·         Bahan Tambahan (Termasuk Enzim Pengempuk Daging)
Enzim dari tanaman, seperti papain (dari pepaya), bromelin (dari nenas), dan fisin (getah pohon daun ara), baik berbentuk cair maupun bubuk, dapat digunakan untuk mengempukkan daging. Kelemahan enzim ini adalah kadang-kadang hanya bereaksi pada permukaan daging, selain berpengaruh negatif terhadap sifat daging. Papain dari getah pepaya paling banyak digunakan sebagai pengempuk daging. Kualitas getah sangat menentukan aktivitas enzim proteolitik, dan kualitas enzim bergantung pada bagian tanaman asal getah tersebut. Aktivitas enzim dipengaruhi oleh proses pembuatan, umur, dan varietas pepaya. Papain
stabil pada pH larutan 5,0. Papain sangat aktif dan tahan terhadap
panas. Papain bekerja optimum pada suhu 50-60oC dan pH 5-7, serta aktivitas proteolitik antara 70-1.000 unit/gram.  Enzim bromelin dari nenas juga banyak digunakan untuk mengempukkan daging. Enzim bromelin dapat menguraikan serat-serat daging sehingga menjadi lebih empuk. Buah nenas yang belum matang mengandung bromelin lebih sedikit dibandingkan buah nenas matang yang masih segar. Kandungan bromelin paling banyak terdapat dalam bagian kulit.
Marinasi adalah cara meningkatkan keempukan daging dengan menambahkan bahan perasa, seperti garam atau kecap, asam (cuka, jeruk lemon), dan enzim (papain, bromelin, fisin atau jahe). Penambahan beberapa sendok makanminyak zaitun akan melindungi permukaan daging dari udara dan daging akan tetap segar dan warnanya lebih cerah dalam waktu lebih lama. Dengan marinasi terjadi pelunakan kolagen oleh garam, meningkatnya pertahanan air, hidrolisis serta pemecahan ikatan silang jaringan ikat oleh asam.
·         Lemak Intramuscular (Marbling)
Berdasarkan marbling, karkas sapi dibedakan menjadi: 1) prime, bila marbling-nya berlebih, 2) choice, bila marbling-nya sedang, 3) seledt, bila marbling-nya sedikit, 4) standart, bila marbling-nya sangat sedikit. Marbling adalah lemak yang terdapat diantara serabut otot (intramuscular). Lemak berfungsi sebagai pembungkus otot dan mempertahankan keutuhan daging pada waktu dipanaskan. Marbling berpengaruh terhadap citarasa daging. Selama proses penggemukan, peningkatan lemak karkas akan mempengaruhi komposisi karkas dan hasil daging (Priyanto et al., 1999).
·         Metode Penyimpanan dan Pengawetan
Ada beberapa yang dilakukan dalam menentukan kualitas daging dengan metode penyimpanan dan pengawetan, antara lain sebagai berikut:
1) Laju Pendingin  Karkas sebaiknya cepat didinginkan setelah pemotongan untuk mencegah penurunan kualitas. Jika karkas didinginkan sebentar, hasilnya adalah pendinginan singkat dan menyebabkan daging keras/alot. Pendinginan singkat terjadi pada saat otot didinginkan kurang dari 60°F sebelum rigor mortis selesai. Jika karkas dibekukan sebelum rigor mortis selesai, hasilnya adalah rigor cair (thaw rigor) dan daging menjadi keras/alot. Pada kondisi pendinginan normal, karkas yang terlindungi lemak sekitar rib eye kurang dari 1,2 cm mungkin akan menurunkan keempukan karena pendinginan singkat. Pelayuan karkas hasil pendinginan singkat atau rigor cair dapat memengaruhi keempukan. Agar daging lebih empuk, harus dihindari pendinginan singkat, 6-12 jam pertama setelah ternak dipotong (mati).  2) Pembekuan kurang memengaruhi keempukan daging. Bila daging dibekukan secara cepat akan terbentuk kristal es kecil, dan bila daging dibekukan lambat/lama akan terbentuk kristal es besar. Terbentuknya kristal es besar dapat mengganggu serat otot daging sehingga sangat sedikit meningkatkan keempukan. Kristal es yang besar dapat menurunkan cairan daging selama thawing (pencairan). Daging yang kurang berair akan kurang empuk jika dimasak.3) Thawing Daging beku yang sudah mengalami pencairan secara lambat dalamrefrigerator umumnya lebih empuk dibanding yang dimasak dalam kondisi beku. Pencairan secara lambat mengurangi kekerasan dan jumlah cairan daging yang hilang. Pencairan menggunakan microwave hendaknya dilakukan dengan daya yang rendah. Akibat proses pengolahan dan komponen bumbu yang digunakan, beberapa produk olahan tersebut memiliki nilai gizi lebih baik dibandingkan dengan daging segarnya. Produk olahan daging tersebut dapat juga digunakan sebagai alternatif sumber protein hewani.
·         Macam Otot Daging
Keempukan daging bervariasi sesuai dengan jenis otot atau letak
daging pada karkas. Contoh, daging sapi jenis has dalam lebih empuk dibanding daging sengkel karena adanya perbedaan jaringan ikat pada jenis daging tersebut. Has dalam memiliki jaringan ikat yang lebih sedikit dibandingkan dengan sengkel. Jumlah jaringan ikat berkaitan dengan fungsi otot pada ternak hidup. Sengkel terutama digunakan dalam pergerakan sehingga memiliki jaringan ikat lebih banyak. Sementara itu, has dalam hanya mendukung fungsi ternak sehingga jaringan ikatnya lebih sedikit.
·         Lokasi Otot
Menurut Lawrie (1995), penyebab utama kealotan daging adalah karena terjadinya pemendekan otot pada saat proses rigormortis sebagai akibat dari ternak yang terlalu banyak bergerak pada saat pemotongan. Otot yang memendek menjelang rigormortis akan menghasilkan daging dengan panjang sarkomer yang pendek, dan lebih banyak mengandung kompleks aktomiosin atau ikatan antarfilamen, sehingga daging menjadi alot (Soeparno, 1994). Menurut Soeparno (1994) menjelaskan bahwa peregangan otot atau pencegahan terhadap pengerutan otot akan meningkatkan keempukan daging, karena panjang sarkomer miofibril meningkat. Penggantungan karkas dapat meningkatkan panjang sejumlah otot sehingga daging menjadi empuk. Keempukan daging juga dapat disebabkan oleh tekstur daging. Semakin halus teksturnya, maka daging menjadi empuk (Soeparno,2005). Kontribusi jaringan ikat pada kekerasan daging juga sangat penting seperti pada jaringan muskuler. Kandungan, kualitas dan penyebaran jaringan ikat dalam otot merupakan penanggung jawab utama terhadap perbedaan kekerasan antar otot (Boccard dkk., 1967).
Faktor-faktor Kerusakan Kualitas Daging

1.   Bakteri
Dari kata latin bacterium (jamak, bacteria) adalah kelompok raksasa dari organism hidup. Mereka sangatlah kecil (mikroskopik) dan kebanyakan uniseluler (bersel tunggal) dengan struktur sel yang relative sederhana tanpa nucleus/inti sel, cytoskeleton, dan organel lainnya seperti mitokondria dan kloroplas.
Daging mudah sekali mengalami kerusakan oleh mikroba. Kerusakan daging ditandai oleh adanya perubahan bau dan timbulnya lender yang biasa terjadi jika jumlah mikroba menjadi jutaan atau ratusan juta sel atau lebih per 1 cm luas permukaan daging. Ciri-ciri kerusakan pada daging yang disebabkan oleh aktivitas bakteri pembusuk antara lain:
a.    Daging kelihatan kusam dan berlendir, pada umumnya disebabkan oleh bakteri dari genus Pseudomonas, Achromobacter, Streptococcus, Leuconostoc, Bacillus. Dan Mikrococcus.
b.    Daging berwarna kehijau-hijauan (seperti isi usus), pada umumnya disebabkan oleh bakteri dari genus Lactobacillus, dan Leuconostoc.
c.    Daging menjadi tengik akibat penguraian asam lemak, pada umumnya disebabkan oleh bakteri dari genus Pseudomonas dan Achromobacter.
d.    Perubahan bau menjadi busuki karena terjadi pemecahan protein dan terbentuknya senyawa-senyawa berbau busuk seperti ammonia, H2S, dan senyawa lain.
e.    Perubahan rasa menjadi asam dan pahit karena pertumbuhan bakteri pembentuk asam dan senyawa pahit.

2.   Khamir
Khamr (yeast) merupakan jasad renik (mikroorganisme) yang pertama digunakan manusia dalam industri pangan (pembuatan roti). Selain itu, khamir merupakan salah satu miroorganisme yang termasuk dalam golongan fungi yang dibedakan bentuknya dari kapang karena bentuknya uniseluler. Kerusakan daging yang disebabkan oleh khamir antara lain:
a.    Permukaan daging berlendir
b.    Lipolisis
c.    Bau busuk/masam
d.    Rasa busuk/masam
e.    Diskolorisasi (putih. Krem, pink, coklat)
 
3.   Kapang
Kapang (mould/filamentous fungi) merupakan mikroorganisme anggota kingdom fungi yang membentuk hifa. Kapang bukan merupakan aggota taksonomi yang resmi , sehingga anggota-anggota dari kapang tersebar kedalam filum Glomeromycota dan Ascomycota.
Kapang dapat menyebabkan kerusakan pada berbagai macam makanan dalam kondisi aw, pH, dan suhu rendah. Jenis kapang yang dapat merusak makanan diantaranya Aspergillus, Penicillium, Botrytis, Alternaria, dan Mucor. Kerusakan pada sayuran kebanyakan disebabkan oleh kapang seperti Alternaria, Botrytis, dan Phytophtora, atau bakteri yang berasal dari genus Erwinia. Senyawa beracun yang diproduksi oleh kapang disebut mikotoksin.

Kerusakan yang diakibatkan oleh kapang antara lain:
a.    Bergetah lengket
b.    Berambut (putih, dll), biasa disebabkan oleh Thamnidium chaetocladiodes, Mucor inocedo, dan Rhizopus
c.    Bintik hitam, disebabkan oleh Cladosporium herbarium
d.    Bintik putih, disebabkan oleh Sporotrichum carnis, Geotrichum
e.    Noda-noda hijau, oleh Penicillium expansum, P. asperulum
f.    Dekomposisi lemak, oleh kapang penyebab hidrolisis dan oksidasi lemak
g.    Bau dan rasa menyimpang, disebabkan oleh Thamnidium

















BAB III
PENUTUP




















DAFTAR PUSTAKA
Usmiati, S. 2010. Pengawetan Daging Segar dan Olahan. Balai Besar Penelitian
Purbowati, E., C. I. Sutrisno, E. Baliarti, S. P. S.Budhi dan W. Lestariana. 2006. Karakteristik fisik otot Longissimus dorsi dan Biceps femoris domba lokal jantan yang dipelihara di pedesaan pada bobot potong yang berbeda. J. Protein. 33(2):147-­153.
Kandeepan, G., A. S. R. Anjaneyulu, V. K. Rao, U. K. Pal, P. K. Mondal and C. K. Das. 2009. Feeding regimens affecting meat quality characteristics. Meso. 11(4):240-­249.
Jamhari, 1995. Karakteristik fisik dan kimia daging. Bul. Peternakan. 19(1).
Yanti, H., Hidayati dan Elfawati. 2008. Kualitas daging sapi dengan kemasan plastik PE (polyethylen) dan plastik PP (Polypropylen) di pasar Arengka kota Pekanbaru. J. Peternakan. 5(1):22-­27.
Abustam, E. 2009. Penyedian Daging. http://cinnatalemien-­ eabustam.blogspot.com. (10 Maret 2011).
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wooton. 1986. Ilmu Pangan. UI Press, Jakarta (Terjemahan oleh : H. Purnomo dan Adiono).
Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Brahmantiyo, B. 2000. Sifat fisik dan kimia daging sapi Brahman Cross, Angus, dan Murray Grey. Media Veteriner. 7(2)9-­11.
Standar Nasional Indonesia (SNI 3932, 2008). Mutu Karkas dan Daging Sapi. Badan Standardisasi Nasional (BSN), Jakarta.
Bintoro, V. P. 2008. Teknologi Pengolahan Daging dan Analisis Produk. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Setyaningsih, D., A. Apriyantono dan M. Puspitasasi. 2010. Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro. IPB Press, Bogor.
Williams, R. E., J. K. Bertrand, S. E. Williams, and L. L. Benyshek. 1992. Biceps femoris and rump fat as additional ultrasound measurements for predicting retail product and trimmable fat in beef carcasses. J. Anim. Sci. 75: 7-13.
Pane, I. 1993. Pemuliaan Ternak Sapi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Zajulie, I. M., M. Moch., S. Trinil and Kuswati. 2015. Distribusi komponen karkas sapi Brahman Cross (BX) hasil penggemukan pada umur pemotongan yang berbeda. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 25: 24-34.
Bureš and L. Bartoň. 2012. Growth performance, carcass traits and meat quality of bulls and heifers slaughtered at different ages. Czech J. Anim. Sci. 57: 34-43.
Harapin, H. H. dan R. Priyanto. 2006. Pengaruh konformasi butt shape terhadap karakteristik karkas sapi Brahman Cross pada beberapa klasifikasi jenis kelamin. Media Peternakan 29: 162-168.
Andri Haryono Awalokta Kusuma, dan Rusman. pengaruh bangsa, umur, jenis kelamin terhadap kualitas daging sapi potong di daerah istimewa yogyakarta.Fakultas peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Nurwantoro, V. P. Bintoro, A. M. Legowo, A. Purnomoadi. pengaruh metode pemberian pakan terhadap kualitas spesifik daging



Komentar